Pilih Hidup Di Desa Atau Di Kota?
Lebih memilih hidup di desa atau di kota? Dulu pertanyaan ini sering muncul dalam benak saya pribadi dan juga kadang saya nanya ke teman-teman saya untuk mengetahui apa jawaban mereka.
Ya. Setiap orang jelas memiliki pandangan masing-masing dan pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka.
Salah satu teman saya mengatakan bahwa dia lebih memilih hidup di kota. Alasannya karena memang fasilitas di kota lebih lengkap dibandingkan di kampung.
Mungkin karena banyaknya pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, banyaknya gedung perkantoran, mau apa saja ada, tinggal beli. Hanya tinggal siapkan saja uangnya.
Tapi bagi saya pribadi yang lahir dan berasal dari kampung lebih memilih dan senang tinggal di desa daripada hidup di perkotaan.
Di kampung yang suasana hawanya sejuk dan agak sedikit sepi dari keramaian jalan raya. Karena saya lebih menyukai ketenangan dan senang menghirup udara segar di pagi hari serta meminum air dari mata air yang masih asli. Dan saya memang gak suka minum air galon isi ulang.
Beberapa kali saya tinggal dan mengunjungi beberapa kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Serang, Bandung, Bekasi dan Bogor. Saya melihat banyak bagaimana kehidupan di kota-kota besar tersebut. Tentunya dilihat dari pandangan saya sendiri ya.
Jika saya disuruh memilih di antara kota-kota tersebut yang masih agak mendingan menurut saya adalah kota Bogor. Karena disana masih terdapat banyak pohon-pohon jadi masih ada hawa sejuknya.
Meskipun sekarang-sekarang ini sudah mulai panas karena banyak pohon-pohon apalagi pinggir jalan yang ditebang. Dan air sumurnya pun masih lumayan jernih dan tak berbau.
Jika di kota-kota lainnya yang pernah saya kunjungi saya sangat tidak nyaman lagi dengan hawa panasnya. Kecuali Bandung yang memang sangat dingin di pagi hari tapi panas di siang hari.
Airnya pun serasa gimana gitu. Sepertinya memang sudah melalui proses penjernihan dan gak tahu juga dari air apa. Belum juga bercampur dengan polusi.
Jadi ada rasa keset dan sedikit berbau. Ini bisa dirasakan pas sedang berwudlu. Apalagi saat pengalaman saya berwudlu di Mesjid Istiqlal sangat terasa sekali. Airnya agak hangat, keset dan agak berbau menurut saya.
Belum lagi jika tinggal di Jakarta ada masalah tahunan saat musim hujan tiba yang tak bisa dihindarkan, yaitu banjir.
Masalah ini yang bisa membuat orang harus mengungsi sementara dan beberapa aktivitas jadi terganggu.
Itu jika dilihat baru hanya dari sisi kondisi cuaca dan air di kota menurut pandangan saya.
Hal lain yang paling tidak nyaman bagi saya adalah saat masuk ke komplek perumahan.
Waktu di Tangerang saya sering diajak teman ke komplek-komplek perumahan elite untuk suatu urusan pekerjaan teman saya.
Melihat suasana nya saya merenung. Dan yang ada dalam pikiran saya bahwa rumah-rumah mewah yang ada di komplek perumahan ini di siang hari layaknya seperti kuburan yang seolah tak ada kehidupan.
Semua gerbang pintu rumah tertutup rapat. Memanggil-manggil orang yang di rumah saja sangat susah sekali.
Tak ada interaksi antar sesama tetangga. Bahkan banyak yang tak kenal dengan tetangga rumahnya sendiri. Sehingga mau nanya orang saja agak susah.
Sangat individualis sekali dan seolah hidup di lingkungan rumah itu tak bermakna. Interaksi hanya ada di tempat kerja saja.
Pagi-pagi buta berangkat kerja. Pulang malam. Di rumah yang terlihat sangat mewah itu hanya dijadikan tempat untuk istirahat tidur saja.
Sebenarnya hidup ini yang dikejar-kejar apa sih? Rumah mewah? Uang? Sampai-sampai menghabiskan waktu tiap hari lupa menghidupkan suasana rumah, interaksi dan bercengkrama dengan keluarga dan tetangga.
Sangat bertolak belakang sekali dengan suasana di kampung yang mana dengan orang, jangankan tetangga, satu kampung saja pasti pada tahu.
Mau kangkung, daun singkong atau bayam saja di kampung tinggal ngambil di pekarangan. Atau kalau gak punya tinggal bilang beli ke tetangga pasti dikasih tanpa perlu bayar.
Sedangkan di kota, apa-apa harus beli. Semua ada. Tapi uangnya juga harus ada. Apa yang gak pake uang di kota? Mau kencing aja harus bayar Rp 2000.
Yang bikin kaget, saya pernah ikut mengantar jenazah ke pemakaman. Ternyata pas saya lihat di plang pos dekat pemakamannya ada peringatan harus membayar uang pemakaman tiap bulan.
Dan jika telat, kalau gak salah telat 3 bulan dianggap keluarganya tak ada yang mengakui makam tersebut dan makam tersebut akan digali diganti dengan yang lain. Sungguh tega sekali.
Kalau di kampung tak ada pungutan bulanan buat orang yang dimakamkan di TPU. Jika harus bayar tiap bulan jelas sangat membebani keluarga yang ditinggalkan. Apalagi jika keluarga miskin.
Itulah hanya sedikit kisah yang saya alami dan lihat perbandingan antara hidup di pedesaan dan perkotaan. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja baru itu yang bisa saya ingat.
Setiap orang punya pandangan masing-masing ya. Jadi bisa saja pembaca berbeda pandangan dengan saya. Itu sah-sah saja. Semua orang punya pilihan masing-masing.
Ya. Setiap orang jelas memiliki pandangan masing-masing dan pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka.
Salah satu teman saya mengatakan bahwa dia lebih memilih hidup di kota. Alasannya karena memang fasilitas di kota lebih lengkap dibandingkan di kampung.
Mungkin karena banyaknya pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, banyaknya gedung perkantoran, mau apa saja ada, tinggal beli. Hanya tinggal siapkan saja uangnya.
Tapi bagi saya pribadi yang lahir dan berasal dari kampung lebih memilih dan senang tinggal di desa daripada hidup di perkotaan.
Di kampung yang suasana hawanya sejuk dan agak sedikit sepi dari keramaian jalan raya. Karena saya lebih menyukai ketenangan dan senang menghirup udara segar di pagi hari serta meminum air dari mata air yang masih asli. Dan saya memang gak suka minum air galon isi ulang.
Beberapa kali saya tinggal dan mengunjungi beberapa kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Serang, Bandung, Bekasi dan Bogor. Saya melihat banyak bagaimana kehidupan di kota-kota besar tersebut. Tentunya dilihat dari pandangan saya sendiri ya.
Jika saya disuruh memilih di antara kota-kota tersebut yang masih agak mendingan menurut saya adalah kota Bogor. Karena disana masih terdapat banyak pohon-pohon jadi masih ada hawa sejuknya.
Meskipun sekarang-sekarang ini sudah mulai panas karena banyak pohon-pohon apalagi pinggir jalan yang ditebang. Dan air sumurnya pun masih lumayan jernih dan tak berbau.
Jika di kota-kota lainnya yang pernah saya kunjungi saya sangat tidak nyaman lagi dengan hawa panasnya. Kecuali Bandung yang memang sangat dingin di pagi hari tapi panas di siang hari.
Airnya pun serasa gimana gitu. Sepertinya memang sudah melalui proses penjernihan dan gak tahu juga dari air apa. Belum juga bercampur dengan polusi.
Jadi ada rasa keset dan sedikit berbau. Ini bisa dirasakan pas sedang berwudlu. Apalagi saat pengalaman saya berwudlu di Mesjid Istiqlal sangat terasa sekali. Airnya agak hangat, keset dan agak berbau menurut saya.
Belum lagi jika tinggal di Jakarta ada masalah tahunan saat musim hujan tiba yang tak bisa dihindarkan, yaitu banjir.
Masalah ini yang bisa membuat orang harus mengungsi sementara dan beberapa aktivitas jadi terganggu.
Itu jika dilihat baru hanya dari sisi kondisi cuaca dan air di kota menurut pandangan saya.
Hal lain yang paling tidak nyaman bagi saya adalah saat masuk ke komplek perumahan.
Waktu di Tangerang saya sering diajak teman ke komplek-komplek perumahan elite untuk suatu urusan pekerjaan teman saya.
Melihat suasana nya saya merenung. Dan yang ada dalam pikiran saya bahwa rumah-rumah mewah yang ada di komplek perumahan ini di siang hari layaknya seperti kuburan yang seolah tak ada kehidupan.
Semua gerbang pintu rumah tertutup rapat. Memanggil-manggil orang yang di rumah saja sangat susah sekali.
Tak ada interaksi antar sesama tetangga. Bahkan banyak yang tak kenal dengan tetangga rumahnya sendiri. Sehingga mau nanya orang saja agak susah.
Sangat individualis sekali dan seolah hidup di lingkungan rumah itu tak bermakna. Interaksi hanya ada di tempat kerja saja.
Pagi-pagi buta berangkat kerja. Pulang malam. Di rumah yang terlihat sangat mewah itu hanya dijadikan tempat untuk istirahat tidur saja.
Sebenarnya hidup ini yang dikejar-kejar apa sih? Rumah mewah? Uang? Sampai-sampai menghabiskan waktu tiap hari lupa menghidupkan suasana rumah, interaksi dan bercengkrama dengan keluarga dan tetangga.
Sangat bertolak belakang sekali dengan suasana di kampung yang mana dengan orang, jangankan tetangga, satu kampung saja pasti pada tahu.
Mau kangkung, daun singkong atau bayam saja di kampung tinggal ngambil di pekarangan. Atau kalau gak punya tinggal bilang beli ke tetangga pasti dikasih tanpa perlu bayar.
Sedangkan di kota, apa-apa harus beli. Semua ada. Tapi uangnya juga harus ada. Apa yang gak pake uang di kota? Mau kencing aja harus bayar Rp 2000.
Yang bikin kaget, saya pernah ikut mengantar jenazah ke pemakaman. Ternyata pas saya lihat di plang pos dekat pemakamannya ada peringatan harus membayar uang pemakaman tiap bulan.
Dan jika telat, kalau gak salah telat 3 bulan dianggap keluarganya tak ada yang mengakui makam tersebut dan makam tersebut akan digali diganti dengan yang lain. Sungguh tega sekali.
Kalau di kampung tak ada pungutan bulanan buat orang yang dimakamkan di TPU. Jika harus bayar tiap bulan jelas sangat membebani keluarga yang ditinggalkan. Apalagi jika keluarga miskin.
Itulah hanya sedikit kisah yang saya alami dan lihat perbandingan antara hidup di pedesaan dan perkotaan. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja baru itu yang bisa saya ingat.
Setiap orang punya pandangan masing-masing ya. Jadi bisa saja pembaca berbeda pandangan dengan saya. Itu sah-sah saja. Semua orang punya pilihan masing-masing.